Transseksual
"AMPUN PAH!! AMPUN!!!!!"
"AKU
BENAR BENAR MALU MEMPUNYAI ISTRI SEPERTIMU"
"AKKHHHHH
SAKIT PAH!!"
Aku hanya bisa menangis di lantai 2 ketika melihat mamaku dipukuli oleh suaminya sendiri alias papaku. Aku melihat tangan dan kaki mama membiru karena ulah papa. Beberapa kali mama memohon agar papa menghentikan siksaannya, tapi papa malah membabi buta menyiksa mama. Wajah mama di penuhi air mata sekaligus keringat, tapi papa tidak memperdulikan semua itu.
Aku hanya bisa menangis dan menonton, tontonan yang tidak boleh di tonton oleh anak kecil sepertiku. Aku tidak tega melihat mama dipukuli seperti itu, jadi aku berlari menuju kamar dan memasuki lemari baju milikku.
Bersembunyi. Aku hanya bisa bersembunyi. Aku takut, sedih, dan kecewa. Kecewa karena aku tidak bisa melakukan apa apa untuk menolong mama. Aku takut kehilangan mama.
***
"ANNISAAA!!! Kenapa kamu bersembunyi disitu ?!! Kami mencarimu kemana mana!!"
Tiba-tiba
aku terbangun karena seseorang mengguncang-guncangkan tubuhku. Aku mulai
tersadar, ternyata aku tertidur di lemari bajuku.
"Nisaaaa!! Mama mu !!" teriak Riska, tetangga sekaligus teman ku.
"Mama
ku? Ada Apa Dengan Mamaku?!"
"MamaMu
Masuk Rumah Sakit!!!"
Aku
tau ini pasti akan terjadi. Jika terjadi apa apa dengan mama, aku tidak akan
memaafkan papa.
~~~ 9 tahun kemudian ~~~
~~~ 9 tahun kemudian ~~~
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah, sambil asik mendengarkan musik lewat earphone.
Lagu Bruno Mars ‘I was your man’ mengalun lembut di kedua telingaku. Beberapa orang yang ku temui di sepanjang koridor sekolah selalu melemparkan senyum ke arahku dan tidak sedikit orang yang menyapaku. Aku membalasnya dengan memperlihatkan deretan gigiku yang putih, sambil melengkungkan kedua ujung bibirku keatas.
"Hei
Rachmat!!" seseorang menepuk pundak ku dari belakang.
Aku
menoleh dan ternyata itu kakak kelasku sekaligus ketua klub karate, Ryan
Prasetyo. "What's up?" tanyaku sambil membuka earphone yang sedari
tadi asik menempel di kedua telingaku.
"Minggu depan klub kita akan mengikuti pertandingan karate antar sekolah. Karena kamu salah satu anggota klub yang lumayan jago, aku ingin kamu ikut."
"Minggu depan klub kita akan mengikuti pertandingan karate antar sekolah. Karena kamu salah satu anggota klub yang lumayan jago, aku ingin kamu ikut."
"Aku?"
tanyaku tak yakin.
"Iya,
kalau kamu ikut ada kemungkinan sekolah kita akan menang" jawab kak ryan
mencoba untuk meyakinkanku.
TEEEEEEEEEETTTTT
Bel sekolah menggema di seluruh penjuru sekolah, dan ku lihat kak ryan sedikit terburu-buru.
“Aku tunggu jawabanmu hari kamis" kak ryan meninggalkanku dan berlari menuju kelasnya.
Sepertinya
aku juga harus cepat cepat masuk kelas. Aku berjalan memasuki kelas, dan
melihat teman teman sekelasku yang sibuk dengan aktivitasnya masing masing.
Aku menghampiri sebuah meja yang sudah terisi oleh gadis cantik, lalu aku duduk di sebelahnya.
Aku menghampiri sebuah meja yang sudah terisi oleh gadis cantik, lalu aku duduk di sebelahnya.
"Lagi-lagi memakai celana SMA, seorang gadiskan seharusnya memakai rok." ucap gadis tersebut sambil menatapku dari atas sampai bawah secara intens.
"Aku
kan sudah bilang, sebenarnya aku ini laki-laki" jawabku sambil menatap
kedua matanya agar dia percaya padaku.
"Laki-laki
yang terjebak di tubuh seorang gadis, kamu sudah mengucapkan hal itu
beribu-ribu kali" sambungnya dan membalas tatapan mataku.
Aku
langsung mengalihkan pandanganku kedepan, karena aku takut dia melihat wajahku
yang mulai memerah.
"Kamu
sudah tau hal itu, tapi kenapa kamu terus menyuruhku memakai seragam
perempuan?"
"Karena kamu ditakdirkan untuk menjadi seorang perempuan, jadi kamu harus menerimanya, Nisa" jawabnya dan itu membuatku diam seribu kata.
"Karena kamu ditakdirkan untuk menjadi seorang perempuan, jadi kamu harus menerimanya, Nisa" jawabnya dan itu membuatku diam seribu kata.
Ya benar, aku di takdirkan menjadi seorang perempuan. Tapi aku merasa bahwa ini bukanlah aku yang sebenarnya. Aku merasa aku ini seorang laki-laki yang terkurung di tubuh seorang perempuan. Dari kecil aku selalu berpenampilan layaknya anak laki-laki, berambut pendek, memakai pakaian laki laki saat di rumah maupun di luar rumah. Bahkan ke sekolahpun aku memakai seragam anak laki-laki.
Orang-orang selalu berpendapat bahwa aku ini tomboy. Tapi aku rasa ini bukan tomboy. Ini adalah sesuatu yang seharusnya terjadi. Tapi ditahan untuk tidak terjadi. Aku pernah berfikir untuk melakukan operasi transgender, tapi aku belum mempunyai cukup uang untuk melakukannya.
Nama asliku Annisa Rachma, tapi teman teman memanggilku Rachmat. Hanya satu orang yang selalu memanggilku Annisa, dia temanku sejak kecil, Riska Sophia.
Aku
menatap lagi riska yang sejak tadi berbicara denganku.
"Hari
ini aku akan melihat keadaan mamaku, apakah kamu mau ikut?" ajakku.
Dia
tersenyum manis dan menganggukan kepala, "Tentu saja."
[Annisa POV END]
*** SEPULANG SEKOLAH ***
[Author POV]
"Ibu Rina sedang ada di taman" ucap seorang suster memberitahukan keberadaan Ibu Rina alias Mama Annisa.
"Terima
kasih" Annisa tersenyum dan berjalan menuju taman bersama Riska.
"Ngomong-ngomong
sekarang papamu ada dimana?" tanya Riska yang memulai topik pembicaraan.
"Setelah menyelesaikan masa hukumannya dia langsung pergi keluar kota" jawab Annisa.
"Apa dia pernah menengok mamamu?"
"Setelah menyelesaikan masa hukumannya dia langsung pergi keluar kota" jawab Annisa.
"Apa dia pernah menengok mamamu?"
"Sebenarnya
dia pernah kesini untuk melihat keadaan mama, tapi aku langsung mengusirnya.
Orang yang telah membuat mama menderita tidak boleh menampakkan batang
hidungnya di depan mama."
Jawaban
Annisa membuat Riska terdiam, dan langsung menatap wajah temannya itu. Sebagai
sahabat, Riska hanya bisa menepuk bahu Annisa untuk memberinya semangat.
"KYYYYAAAAA~!!!!"
tiba-tiba Riska berteriak ketika seorang laki-laki merebut kantung plastik yang
di bawa Riska. Laki-laki itu berlari sambil tertawa terbahak-bahak.
"Nis,
browniesnya" Riska menunjuk laki-laki yang tengah mencuri browniesnya.
"Sudah
biarkan saja" Annisa mencoba untuk menenangkan Riska.
"Tapi
itu brownies untuk mamamu"
"Jika
kita rebut pasti akan terjadi kekacauan. Sudahlah biarkan saja"
Jawaban
Annisa membuat Riska mengkerucutkan bibirnya. Sepanjang jalan Annisa dan Riska
melihat beberapa orang yang berlalu lalang dengan penampilan yang tidak wajar,
begitu pula tingkah laku mereka yang terlihat aneh.
Setelah memasuki taman, Annisa melihat seorang wanita paruh baya tengah duduk dengan pandangan menerawang ke depan. Mereka berdua mendekati wanita tersebut.
"Mama." Annisa duduk di samping mamanya sambil menepuk bahunya.
Mamanya
menoleh kepada Annisa.
"Lihat
sayang, kakakmu datang untuk bermain bersamamu." Mama Annisa terlihat
girang saat berbicara kepada sebuah boneka.
[Author POV END]
[Annisa POV]
"Makasih ya, Ris, udah mau nganter."
"Ga usah bilang makasih gitu deh,
kita kan temen" Riska merangkul bahuku dan aku sedikit kecewa dengan kata
'teman'.
~ do it do it
do it now ~
Ponsel Riska berbunyi menandakan ada seseorang menelponnya. Riska langsung menjawab telphone tersebut.
"Hallo"
" ......... "
" ......... "
"Kamu sudah ada disana? Baiklah aku
segera kesana."
" ........... "
"Bye"
Riska menutup ponselnya.
"Siapa?" tanyaku, kulihat Riska
tersenyum.
"Sebenarnya dari tadi ingin kuceritakan
padamu" jawab Riska yang membuatku bingung.
"Apa?"
"Aku ....... Aku sudah punya pacar."
"Aku ....... Aku sudah punya pacar."
Aku lihat wajah Riska bersemu merah dan
dia terlihat bahagia.
Tapi penuturannya membuatku sedih.
Kenapa? Kenapa dia memilih laki-laki lain?
Lalu aku? Dia anggap aku ini apa? Lalu
selama ini dia baik padaku, memberi perhatian lebih untuk ku, menghiburku saat
aku sedih, apa itu semua hanya kepedulian seorang teman? Padahal aku sangat
menyukainya lebih dari seorang teman.
"Nisa? Kamu kenapa? Kamu marah?"
Riska memegang tanganku, tapi aku menolak genggamannya.
"Apa kamu tidak tahu? Sebenarnya aku sangat
menyukaimu, Riska!! Ya, dan aku ini sedang marah. Kamu tahu kenapa? Karna kamu bahagia
dengan laki-laki lain. Bukan denganku!!!!!!!"
Tiba-tiba aku membentak dan mengungkapkan
perasaanku selama ini padanya.
Dia terlihat kaget, aku yakin bukan kaget
karena bentakanku tapi karena mendengar ungkapan perasaanku.
"Tapi kita kan sama sama perempuan"
"Tapi kita kan sama sama perempuan"
Lagi-lagi kalimat itu, kalimat yang
menyatakan bahwa aku tidak boleh memilikinya. Aku benci kalimat itu.
"Tolong percayalah bahwa aku ini
laki-laki"
"Maaf, tapi aku hanya menganggap
Nissa seorang teman, tidak lebih."
Itu kalimat terakhir yang ku dengar dari
mulut Riska dan dia berlari meninggalkanku.
[Annisa POV END]
***
[Renata POV]
"Hey cantik! Besok temenin ke sekolah kakak ya?" kak Ryan merebut remote tv dan memindahkan channel tv yang sedang ku tonton.
"Kakak!! Aku kan sedang
menonton!!" Aku membentak kakak laki-laki ku dan dia menatapku.
"Meski sedang marah kamu terlihat sangat cantik." tiba-tiba kak Ryan memeluk ku sangat erat.
Adegan ini sangat menjijikan.
"Meski sedang marah kamu terlihat sangat cantik." tiba-tiba kak Ryan memeluk ku sangat erat.
Adegan ini sangat menjijikan.
"Hwaaaaaaa~ Lepaaasss!!" Aku
mencoba melepaskan diri dari kak Ryan.
"Aku iri padamu Rena, kenapa kamu
harus mempunyai wajah cantik seperti ini?" ungkap kak Ryan yang masih
memeluk ku.
Aku mengambil buku tebal yang dari tadi
tegeletak di sampingku. Dengan sekuat tenaga aku memukulkan buku tadi ke kepala
kak Ryan.
"Aww~" ringis kak Ryan yang langsung memegangi kepala yang menjadi korban keganasan buku tebal tadi.
"Tadi kakak akan mengajak ku
kemana?" tanyaku yang langsung mengambil remote tv yang sempat di curi kak
Ryan.
"Ke sekolahku, sekolahku akan
mengikuti pertandingan karate antar sekolah, aku ingin kamu membantuku melatih
disana. Kamu mau kan adik maniss~?" tanya kak Ryan dengan wajah penuh
harap dan mata berbinar binar di tambah expresi seperti ingin menangis.
"Iya aku mau, tapi kumohon jangan membuat ekspresi seperti itu lagi, itu sangat menggelikan -___-"
"Thank you~" kak Ryan berterima kasih padaku sambil memeluk ku untuk yang kedua kalinya dan kali ini dia mencium pipi kananku.
"Iya aku mau, tapi kumohon jangan membuat ekspresi seperti itu lagi, itu sangat menggelikan -___-"
"Thank you~" kak Ryan berterima kasih padaku sambil memeluk ku untuk yang kedua kalinya dan kali ini dia mencium pipi kananku.
"Jangan lagi -___-"
[Renata POV END]
***
[Author POV]
"Jadi kamu memutuskan untuk mengikuti pertandingan karate ini?"
"Ya" jawab Annisa, Ryan pun
tersenyum atas keputusan yang Annisa buat.
"Kalau begitu hari ini kamu boleh
langsung berlatih"
"Oke" Annisa sangat bersemangat.
Dia berniat untuk menyibukan dirinya
sendiri agar bisa sedikit demi sedikit melupakan perasaanya kepada Riska.
"Ren!!" Ryan berteriak memanggil seseorang yang tengah melatih anggota lain di pinggir aula.
Orang yang merasa di panggil menoleh dan berjalan ke arah Ryan dan Annisa.
"Ada apa?"
"Tolong latih dia" Ryan
menunjukan jarinya kepada Annisa, sementara orang yang di tunjuk memperlihatkan
exspresi bingung
"Apa kakak tidak salah aku di latih
oleh seorang gadis?"
"HEY!! Sembarangan Kalau Bicara!! Aku
Ini Laki-laki Tahu!!" teriak Renata yang marah karena gender-nya di
ragukan.
"A-apa?!!" Annisa kaget, karena
baru kali ini dia melihat laki-laki berwajah cantik.
"Dengar ya Rachmat, dia ini laki-laki dan dia ini adikku, selain itu dia ini pemegang sabuk biru tua, jadi kamu tidak usah meragukan kemampuannya" papar Ryan menjelaskan sedikit identitas adiknya, Renata.
"Dengar ya Rachmat, dia ini laki-laki dan dia ini adikku, selain itu dia ini pemegang sabuk biru tua, jadi kamu tidak usah meragukan kemampuannya" papar Ryan menjelaskan sedikit identitas adiknya, Renata.
Yang di jelaskannya hanya terlihat bingung, 'bagaimana bisa laki-laki kemayu ini bisa memegang sabuk biru tua?' pikir Annisa.
"Oh iya kalian belum kenalan
kan?" tanya Ryan, membiarkan mereka berdua untuk mengetahui nama satu sama
lain.
"Renata Prasetyo" Renata
menjulurkan tangan kanannya.
"Annisa Rachma" kemudian Annisa
menyambut tangan Renata, dalam hitungan detik tangan merekapun terlepas.
"Kenapa namamu seperti anak
perempuan?" tanya Renata.
"Karna aku ini perempuan"
"APAAAAAAA?!!!"
***
"Ma~ terakhir kali aku kesini, aku datang bersama temanku. Tapi bagiku dia lebih dari seorang teman. Aku menyukainya Ma, tapi dia menyukai orang lain, dan saat pulang dari sini aku menyatakan perasaanku, Mama tau setelah itu apa yang terjadi?" Annisa berbicara kepada mamanya yang tengah menyisir rambut sebuah boneka.
***
"Ma~ terakhir kali aku kesini, aku datang bersama temanku. Tapi bagiku dia lebih dari seorang teman. Aku menyukainya Ma, tapi dia menyukai orang lain, dan saat pulang dari sini aku menyatakan perasaanku, Mama tau setelah itu apa yang terjadi?" Annisa berbicara kepada mamanya yang tengah menyisir rambut sebuah boneka.
"Sampai saat ini dia tidak mau
berbicara padaku dan dia selalu menghindar dariku" beberapa bulir air mata
menetes dan membuat aliran air di pipi Annisa.
"Apakah ini yang dinamakan kehilangan
orang yang kita cintai? kenapa ini sangat menyakitkan, Ma?"
Tiba-tiba tangan Mama Annisa menyentuh puncak kepala Annisa dan membelai rambut anak semata wayangnya.
Tangis Annisa semakin menjadi dan dia
langsung memeluk Mama tercintanya.
"Sekarang aku tau bagaimana perasaan Mama saat kehilangan calon adik ku"
"Sekarang aku tau bagaimana perasaan Mama saat kehilangan calon adik ku"
[Author POV END]
***
[Renata POV]
"Apa? jadi dia merasa bahwa dia seorang laki-laki yang terjebak di tubuh seorang perempuan?" tanyaku membenarkan penuturan kak Ryan.
"Hmm~ lagian banyak sekali kejadian
yang membuat dia semakin yakin bahwa dia harus menjadi laki-laki" papar
kak Ryan yang membuatku semakin kepo ingin mengetahui kehidupan gadis bernama
Annisa itu.
"Kejadian?"
"Ya, salah satunya saat dia kelas 1 SD, dia melihat mamanya dipukuli oleh papanya sendiri tepat di depan mata Rachmat, jadi Rachmat ingin melindungi mamanya sebagai seorang anak laki-laki"
Aku hanya terdiam setelah mendengar cerita dari kak Ryan.
"Ya, salah satunya saat dia kelas 1 SD, dia melihat mamanya dipukuli oleh papanya sendiri tepat di depan mata Rachmat, jadi Rachmat ingin melindungi mamanya sebagai seorang anak laki-laki"
Aku hanya terdiam setelah mendengar cerita dari kak Ryan.
"Lalu sekarang papa dan mamanya ada
dimana?"
"Aku dengar papanya masuk penjara
mamanya masuk rumah sakit jiwa karna otaknya sedikit terganggu"
Speechless~ aku benar-benar kaget dan tidak bisa berkomentar apa-apa.
Speechless~ aku benar-benar kaget dan tidak bisa berkomentar apa-apa.
"Hey!! gadis cantik, tolong belikan
makanan, aku sangat lapar" kak Ryan berjalan meninggalkanku setelah
menyuruhku membeli makanan.
Karena aku ini tipe adik yang baik, jadi
aku bergegas pergi untuk membeli makanan tanpa mengomel sedikitpun.
[Renata POV END]
***
[Author POV]
Renata keluar dari minimarket dan berjalan menyusuri trotoar sambil membawa sekantung makanan ringan.
Di tengah kerumunan orang yang tengah
berlalu lalang, Renata melihat seseorang yang dia kenal.
Renata berjalan cepat agar bisa menyusul orang tersebut.
Renata berjalan cepat agar bisa menyusul orang tersebut.
"Annisa~"
Annisa sedikit kaget karena ada suara
laki-laki yang memanggil namanya, biasanya semua temannya selalu memanggil dia
Rachmat bukan Annisa.
'Mungkin yang di panggil bukan aku' pikir
Annisa, jadi dia melanjutkalan langkahnya yang sempat terganggu.
Tapi tiba-tiba . . .
'greeeeeep'
Seseorang memegang tangan kiri Annisa.
Seseorang memegang tangan kiri Annisa.
"Hai" orang itu menyapa dan
tersenyum manis kepada Annisa.
"Renata?"
Renata melepaskan genggaman tangannya.
Renata melepaskan genggaman tangannya.
"Pulang sekolah bukannya langsung
pulang, malah keluyuran di tengah kota seperti ini" papar Renata yang
masih melihat Annisa masih memakai seragam sekolah.
Merasa dikira anak nakal, Annisa langsung
membela diri "Aku tidak keluyuran, tadi aku sudah menengok seseorang"
"Hahaha aku hanya bercanda"
Renata tertawa agar bisa mencairkan suasana.
Ketika mereka berdua berjalan sambil
mengobrol, Renata melihat segerombolan laki-laki yang memakai seragam SMA
tengah menggoda Renata.
Karena merasa dikira seorang perempuan
oleh anak-anak SMA itu, Renata mempercepat jalannya.
Melihat Renata berjalan semakin cepat Annisa melangkahkan kakinya dua kali lebih cepat dan mensejajarkan langkahnya dengan kaki Renata.
Melihat Renata berjalan semakin cepat Annisa melangkahkan kakinya dua kali lebih cepat dan mensejajarkan langkahnya dengan kaki Renata.
"Mempunyai wajah seperti perempuan memang menyebalkan" ungkap Renata, Annisa hanya menatap Renata dengan wajah setuju.
'Apalagi aku yang harus menjadi seorang
perempuan' pikir Annisa.
"Tapi lebih menyebalkan lagi jika aku
tidak mensyukuri apa yang penciptaku berikan padaku" Renata melanjutkan
ucapannya, dan itu membuat Annisa sangat bingung.
"Karena aku yakin di balik rencana Allah, Allah mempunyai tujuan kenapa aku di takdirkan mempunyai wajah seperti perempuan" Renata memandang lurus ke depan sambil tersenyum.
'Kenapa dia menceritakan hal itu padaku?'
"Karena aku yakin di balik rencana Allah, Allah mempunyai tujuan kenapa aku di takdirkan mempunyai wajah seperti perempuan" Renata memandang lurus ke depan sambil tersenyum.
'Kenapa dia menceritakan hal itu padaku?'
"Dan aku iri padamu, Annisa"
"Iri?"
"Ya, karna kelak kamu bisa menjadi seorang ibu"
"Ya, karna kelak kamu bisa menjadi seorang ibu"
"........."
"Dan kelak aku bisa menjadi seorang ayah" ungkapan Renata membuat wajah Annisa memerah 'Sebenarnya apa yang dia maksud?'
"Dan kelak aku bisa menjadi seorang ayah" ungkapan Renata membuat wajah Annisa memerah 'Sebenarnya apa yang dia maksud?'
"Karna suatu saat anakmu bisa
menemukan surga di telapak kakimu, sedangkan anak-anakku tidak bisa menemukan
surga di telapak kaki ku. Kamu taukan tidak ada pepatah ~surga di telapak kaki
ayah~"
"Hahaha apa sih garing banget
deh"
Annisa tertawa dan itu membuat Renata
tersenyum.
"AH!!!"
"Ada apa?" tanya Annisa khawatir karena Renata tiba-tiba berteriak.
"Ada apa?" tanya Annisa khawatir karena Renata tiba-tiba berteriak.
"Karena asik mengobrol, rumahku
terlewat sangat jauh" ujar Renata terlihat bingung.
"Ahaha dasar"
"Ahaha dasar"
"Kalau begitu aku pergi dulu, oh iya
semoga di pertandingan karate nanti kamu bisa jadi juara pertama" Renata
berbalik arah dan segera melangkahkan kaki menuju rumahnya yang sudah sangat
jauh terlewat.
"Mensyukuri? Ada ada saja"
terlihat ada senyum di wajah Annisa.
Dan sepertinya pikiran Annisa pun mulai
terbuka.
--------- THE END ----------
Transeksual adalah orang yang identitas
gendernya berlawanan dengan jenis kelaminnya secara biologis.
Mereka merasa 'terperangkap' di tubuh yang
salah. Misalnya seseorang yang terlahir dengan anatomi seks wanita, tetapi
merasa bahwa dirinya adalah pria dan ingin di identifikasi sebagai pria.
Transeksual-lah yang dapat mnimbulkan perilaku homo atau lesbi, namun transeksual tidak dapat disamakan dengan homo atau lesbi.
Transeksual-lah yang dapat mnimbulkan perilaku homo atau lesbi, namun transeksual tidak dapat disamakan dengan homo atau lesbi.
Bisa saja seorang wanita transeksual
tertarik pada wanita lain karena merasa bahwa dia seorang pria.
Pesan dari cerita diatas adalah jangan
jauhi orang-orang yang terkena penyakit transeksual, seharusnya kita sedikit
demi sedikit mengubah jalan pikiran mereka.
Perubahan itu tidak ada yang instan,
perubahan memerlukan proses.
So~ tidak ada salahnya mencoba membantu
mereka untuk menerima apa yang pencipta berikan kepada mereka.
Fani Lindriani
2013
Komentar
Posting Komentar