Menunggu Malam
“Pak sedang apa?
Sedang menunggu malam seperti biasanya yah?” tiba-tiba Dea muncul dari dalam
kamarnya mengagetkan Darmo yang sedang melamun di depan teras rumahnya. Malam
itu hening sekali.
Darmo terdiam. Otaknya berputar keras mempersiapkan jawaban yang pas
agar anaknya bisa mengerti.
“Iya, sayang, Bapak sedang menunggu malam, seperti biasa. Biar bisa belikan
boneka baru untuk Dea yah” jawab Darmo dengan gugup.
“Oh, gitu ya, Pak? Dea bangga sama bapak. Sekarang bapak belum berangkat
kerja? Apa malamnya belum datang pak?” Tanya Dea polos
“Ini sebentar lagi Bapak mau
berangkat, makanya kamu cepat tidur ya, Sayang” ujar Darmo penuh rasa sayang.
Sembari menggendong anaknya menuju tempat
tidur dan menina bobokan Dea.
Ilustration by: madrasahibnuabbaskendari.wordpress.com |
Ketika berjalan menyusuri malam
tiba-tiba handphonenya bordering, lalu Darmo mengangkat telepon itu
“Kau masih dimana?”
“Aku sedang berjalan menuju lokasi.”
“Percepat langkahmu. Malam telah menunggu mu.”
“Ya”
Klik. Darmo menutup telepon itu
dan mempercepat langkah kakinya. Tak butuh waktu lama tepat pada tengah malam
Darmo sampai disebuah bangunan tua yang tak berpenghuni. Tapi Darmo tahu kehadiranya telah ditunggu-tunggu oleh
seseorang di dalam sana. Ketika Darmo sampai dilokasi, seorang laki-laki
berperawakan sedang mengenakan jas hitam, dasi dan sepatu mengkilap itu
menyambutnya.
“Selamat datang darmo. Sudah siap untuk tugas yang satu ini?”
“Siap, Bos!” balas Darmo dengan tegas
”Ini malam yang lumayan berat untuk kamu Darmo, karna target kita malam ini adalah seorang anggota DPR RI” pungkas laki-laki berjas hitam itu
sembari menyundut roko di tangan kirinya.
“Semua bisa teratasi. Asal bayaranya sesuai saja. Saya pasti bisa bereskan
malam ini.”
“Baik. Ini untuk permulaanya.” sahut
laki-laki berdasi itu sembari memberikan sebuah amplop coklat yang lumayan
tebal.
Darmo mengambil amplop itu dan
membukanya. Hatinya berdesir mengingat ia bisa membelikan boneka baru untuk
Dea. Dengan segera darmo memasukanya ke saku celana kirinya dan mengeluarkan
pistol dari saku celana kanannya. Kemudian membalikan badan dan melangkah meninggalkan laki-laki bersepatu
mengkilap itu.
“Ingat. Harus mati!” teriak laki-laki itu dari kejauhan kepada Darmo.
Darmo melenggang pergi menggunakan
motor yang telah disediakan laki-laki itu menuju rumah anggota DPR RI yang
telah diberitahu oleh bos nya. Sesampainya di depan pintu gerbang rumah yang dimaksud,
Darmo menunggu di posisi paling aman untuk segera menyelesaikan malam yang
telah menunggunya. Satu jam berlalu. Sebuah mobil merah kinclong meluncur
hendak masuk kedalam rumah yang sedang di awasi oleh Darmo. Pas sekali, di dalam mobil itu target hanya seorang diri.
Setelah yakin waktu dan suasana telah
tepat, Darmo pun keluar dari
persembunyianya dan menghadang mobil yang berhenti di depan gerbang tersebut.
Darmo menggedor-gedor pintu kaca mobil itu dan menyuruh pengemudinya segera
keluar dari dalam mobil. Darmo langsung menodongkan pistol ke muka seorang
laki-laki yang di yakini sama persis dengan wajah yang ada di foto yang
diberikan oleh bos nya kepada Darmo, dan bersiap menghabisi target secepatnya. Tapi
tiba-tiba laki-laki itu berteriak hingga mengagetkan orang-orang yang sedang
terjaga di pos ronda yang tak jauh dari depan rumah anggota DPR RI itu.
“Tolong!”
Tiba-tiba badan Darmo bergetar, peluru
yang telah siap di luncurkan ke kepala laki-laki yang telah berada di tanganya
itu tiba-tiba terjatuh. Malam itu Darmo sial. Jantungnya tiba-tiba berguncang hebat. Tak ada pilihan lain. Darmo
melihat ada beberapa orang warga yang semakin mendekat ke
arah mereka. Darmo memilih untuk kabur dan mengambil pistolnya yang
terjatuh. Ketika hendak
mengambil pistolnya, anggota DPR RI itu menginjak tangan Darmo hingga Darmo kesakitan. Persekian
detik kemudian para pemuda yang sedang meronda itu telah mengerumuni Darmo yang
diduga maling oleh warga. Tanpa pikir panjang warga langsung menggebuki Darmo tanpa ampun. Darmo meronta mencoba menjelaskan. Tapi ia tak bisa berkata apa-apa. Wajahnya dihantam bertubi-tubi.
Perut dan kakinya di hantam oleh benda
keras seperti batu dan balok. Yang Darmo ingat di tengah penggebukan itu hanya Dea, anaknya yang
sedang tertidur pulas di rumahnya. Darmo semakin tak kuat dan tak berdaya. Tak lama kemudian semua pandangan Darmo buyar.
Hanya sakit dan ceceran darah dari
mulutnya yang terasa. Lalu, gelap.
Di keesokan harinya Darmo merasa badanya basah kuyup ketika terbangun.
Seorang polisi menggertaknya dengan kasar.
“Heh pembunuh bayaran! Bangun kamu! Tuh anak mu datang menjenguk! Sana
keluar!”
Darmo tersentak.
Apayang harus Darmo katakan kepada Dea anaknya? Bagaimana bisa Dea sampai ke kantor polisi itu? Dengan beban pikiranya
yang penat Darmo menemui Dea diruang tunggu sambil menahan rasa sakitnya.
“Bapak!” teriak Dea berlari menghampiri bapaknya dan memeluknya. Dea
menangis histeris di pangkuan bapaknya.
“Bapak kenapa tadi pagi tidak membangunkan Dea? Bapak kenapa ada disini? Dea takut pak sendirian” sedu Dea sembari menangis tersedak-sedak.
“Bapak ada perlu sayang, jadi bapak harus tinggal dulu disini, Dea sama siapa kesini sayang?” ujar Darmo sambil menenangkan hati bocah kecil itu.
“Itu, sama Bu Ida, Pak, tadi katanya, Bu Ida dapet telepon Bapak di tangkap polisi. Apa bener pak? terus yang dibilang polisi itu apa pak, yang ngatain
bapak pembunuh bayaran?” Jawab dan Tanya dea bertubi-tubi.
Darmo bingung harus menjawab
apa. Bocah kecil itu benar-benar terlalu kecil untuk mengetahui pekerjaan
bapaknya yang sesungguhnya. Darmo hanya bisa terdiam tak bisa menjawab. Hati kecilnya berkata.
‘Nak, sebenarnya malam yang bapak tunggu itu dimana waktu bapak harus
bekerja. Demi kamu. Hanya kamu
yang Bapak punya, Nak. Bapak selalu menunggu malam. Menunggu kamu segera tertidur, agar kamu
tak mengetahui apa sesungguhnya yang bapak kerjakan. Bapak tak
punya pilihan lain, Nak.’
Darmo memeluk erat Dea sambil meneteskan air mata dan berkata,
“Tenang saja nak, sekarang malam yang Bapak tunggu tak akan pernah datang lagi. Bapak akan berhenti menunggunya.
Setelah bebas, Bapak akan berganti
menunggu siang. Jangan menangis lagi ya, Sayang” jawab Darmo sembari menghapus air mata Dea dan melepaskan pelukannya.
“Waktu jenguk telah habis. Silakan masuk lagi ke dalam sel” teriak seorang
polisi kepada Darmo. Darmo pun menghampiri Bu Ida tetangga rumah
Darmo untuk menitipkan Dea anaknya hingga ia terbebas. Hingga ia bisa
benar-benar menjemput siang dan membelikan boneka baru untuk Dea.
Dinda Eka Savitri
2014
Komentar
Posting Komentar