Salah Minta Ijin (Sebuah Anekdot)



Dikisahkan tinggallah seorang perempuan setengah baya di sebuah desa. Dia menghuni sebuah rumah mungil miliknya.

Suatu hari perempuan itu hendak pergi ke pasar untuk membeli beberapa sayuran dan buah-buahan. Ditinggalkannyalah rumah itu menuju pasar.

Setelah selesai berbelanja perempuan itu memutuskan untuk pulang kembali ke rumahnya. Dengan semangat ia kembali menuju rumahnya. Sudah terbayang di benaknya, ia akan memasak masakan yang enak yang akan dihidangkannya kepada keluarganya.

Setiba di teras rumah, betapa terkejutnya si perempuan itu mendapati rumah yang ditinggalinya telah dihuni orang lain yang tidak ia kenal. Ia memasuki rumahnya sendiri dengan kebingungan. 
Orang-orang duduk di kursi yang biasa ia duduki, menonton tv di ruang tengah tempat ia terbiasa bercengkrama dengan keluarganya. Bersantai ria di balai-balai bambu tempat ia biasa bersantai.

“Ada apa ini?” pikirnya mulai berkecamuk. Mengapa ia merasa asing di rumahnya sendiri. Demi memuaskan rasa penasarannya, perempuan itu bertanya kepada salah satu yang duduk di kursinya.
“Permisi, Anda ini siapa ya?” tanya perempuan itu masih dengan kebingungan.
“Oh, saya meminjam rumah ini untuk sementara waktu untuk istirahat bersama anak-anak saya.” Jawab orang itu dengan nada datar tak bersalah.
“Tapi, ini kan rumah saya.” Perempuan itu berkata dengan merasa terhina.
“Iya, saya tahu.” Jawabnya datar.
“Lalu, kenapa Anda menempati rumah saya?”
“Oh, itu. Coba tanyakan saja ke Pak RT. Saya sudah bilang kok ke Pak RT. Bahwa saya akan meminjam rumah ini, sudah di ketahui oleh pak RT.” Sekalilagi jawabannya datar, tak merasa bersalah.

Pikiran perempuan ini semakin berkecamuk. “Pak RT? Perasaan ini masih rumahku. Kenapa harus ke Pak RT?” segenap pertanyaan semakin berkecamuk di pikiran perempuan itu.

Akhirnya, karena tidak ada lagi tujuan lain, dia pun memutuskan untuk menemui pak RT. 
Di kediaman Pak RT, segera perempuan itu melontarkan maksudnya. Dia mempertanyakan mengenai orang-orang asing yang menempati rumahnya.

Dengan gugupnya pak RT menjawab pertanyaan perempuan itu.
“Tentang masalah itu, hmmmm... begini bu. Iya betul mereka memang perlu menempati rumah untuk istirahat bersama anak-anak mereka. Mereka sudah bilang ke saya.”
“Tapi mengapa harus rumah saya?” tanya perempuan itu.
“Oh, rumah Ibu ya? Oh ... itu hhmmmm ... saya tidak tahu kalo yang ditempati ternyata rumah ibu.”
“Terus, gimana nih? Saya gak bisa masak kalo rumah saya ditempati orang lain. Padahal saya sudah belanja segini banyaknya untuk memasak. Saya berencana ingin membuat masakan yang enak buat anak-anak saya.”
“Kalo mengenai rumah ibu, coba ibu tanyakan saja ke Pak RW.”
“Pak RW???” tanya ibu itu semakin heran.
“Apa hubungannya Pak RW dengan rumah saya?” lanjutnya.
“Ya, coba ibu tanyakan saja ke Pak RW. Beliau yang mengijinkan keluarga itu menempati rumah di desa sini.”
“Apa Pak RW tahu, kalo yang ditempatinya rumah saya?” desak si ibu.
“Hhhhhmmm.... kalo itu saya juga tidak tahu.”

Perempuan itu merasa tidak ada gunanya melanjutkan pembicaraan dengan Pak RT. Nampaknya Pak RT tidak hendak memberikan solusi apapun. Hanya memberi keterangan plintat plintut yang tak ada penyelesaiannya.

Dengan langkah gontai, perempuan itu berjalan menuju sebuah gubuk dekat sawah di pinggir hutan desa. Dia duduk disana termenung. Bingung apa yang harus dilakukan. Meneruskan masalah ini sampai ke Pak RW? Ahhh rasanya begitu malas. Sudah hafal aku dengan tabiat pak RW. Gak ada gunanya. Gak jauh beda dengan pak RT. Alih-alih hak ku diperjuangkan, yang ada malah aku semakin dicap sebagai warga yang gak baik. Selalu membangkang dan tidak mendukung program desa.

Tapi, bukankah rumah itu adalah rumah miliknya? Pak RT, bahkan Pak RW sekalipun tidak punya hak untuk mengijinkan siapapun tinggal di rumahnya. Sepenuhnya itu adalah haknya. Kalo mau dipinjam, atau disewa, atau dikontrakkan, atau dijual sekalipun, itu kan hak nya. Atas keputusannya, atas ijinnya.

Sungguh dunia ini banyak ketidakadilan. Dan dimanakah para aparat saat warganya ini didzalimi? Kenapa harus berpihak pada mereka. Lalu sebenarnya siapa yang salah? Mereka yang menempati rumahku tanpa ijin? Atau aku si pemilik rumah?

Ahhhh sungguh membingungkan. 

Ulasan : 
Anekdot adalah sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata. Umumnya diambil dari fenomena sosial atau politik yang benar-benar terjadi di masyarakat. Anekdot dibuat dengan maksud menyindir kalangan tertentu atau pihak tertentu mengenai isu isu tertentu. 
Dalam anekdot di atas, dikisahkan seorang ibu yang haknya dirampas begitu saja oleh pihak-pihak yang sebenarnya tidak berhak atas hak si ibu. namun demi kepentingan beberapa gelintir kelompok atau kepentingan tertentu, dibuat seolah-olah hal itu menjadi legal dan benar. 
Sebenarnya hal ini merupakan masalah etika. Dimana, sebenarnya keluarga yang menempati rumah si ibu, harus meminta ijin kepada si ibu pemilik rumah. namun, entah karena ego, atau merasa dekat dengan pihak aparat, sehingga mengambil jalan pintas seperti itu. Tentu saja hal tersebut berdampak pada si ibu yang merupakan korban langsung dari peristiwa ini. Sedangkan tokoh Pak RT dan Pak RW  merupakan aparat yang tidak tahu menahu hal mengenai warga nya yang seharusnya diketahui oleh mereka sebagai aparat. 
Semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

*Living without parental love*

CAHAYA PONDOK

Makan Malam terakhir