TWINS

Aku menatap seorang gadis cantik yang tengah tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. wajahnya pucat pasi. Tak jauh beda dari wajahku yang pucatnya melebihi mayat hidup. Pelan kusentuh tangannya dan kugenggam erat jemarinya. Dingin, hanya rasa dingin yang kurasa ketika tanganku menggenggam jemarinya. Dadanya yang biasa naik turun ketika ia bernafas kini terhenti seketika, mata cokelat madunya yang terang kini terpejam untuk selamanya. Siapa pun yang melihat pasti akan mengira jika yang sekarang terbaring di sana adalah aku. Tapi jelas, itu bukan aku. Gadis yang kini terbaring diam tak bernyawa itu bukan aku, melainkan kakakku, kakak kembarku Lisa.
Aneh bukan, jika Lisa yang harus meninggal lebih dulu dariku yang sejak kecil sudah menderita sakit parah. Aku divonis oleh dokter menderita kelainan jantung, yang membuat semua perhatian orang tuaku tercurah secara berlebihan, menimbulkan kesan bahwa aku telah memonopoli kasih sayang kedua orang tuaku. Hidup Lisa jauh dari kata sakit, hidupnya selalu di isi oleh tawa dan canda, raut keceriaan selalu terpancar jelas di wajahnya. Berbeda denganku yang selalu terlihat kuyu dan lesu. Lisa meninggal bukan karena ia sakit parah, Lisa meninggal karena menjadi korban tabrak lari orang tak bertanggung jawab, saat pulang dari rumah Tristan teman kami di sekolah.
 ----
Saat itu hujan turun dengan derasnya, dan waktu menunjukkan pukul 16.30 sore hari. Aku melangkahkan kakiku menuju dapur hanya untuk membuat secangkir teh hangat. Langkahku terhenti sat mendengar ketukan dari arah pintu. Kulihat, kulihat mama melangkahkan kakinya menuju pintu, penasaran kuikuti langkah mama. Dan aku mengerutkan keningku saat melihat dua orang polisi di depan rumah.
“Apakah benar ini kediaman Lisa Anastasya?” Mama ku mengangguk kebingungan.
Seingatku Lisa tak pernah melakukan tindakan kriminal sekalipun’ batinku. Dan detik berikutnya, aku merasa di sambar petir beribu-ribu kali saat kedua polisi itu mengatakan bahwa Lisa menjadi korban tabrak lari.
---

Aku menolehkan kepalaku saat merasa bahuku di sentuh oleh seseorang
“Lisa sudah pergi, Li.” Bisik Tristan sahabatku. Aku mengangguk kemudian menjauh dari ranjang tempat Lisa terbaring saat para medis datang untuk membawa Lisa ke kamar jenazah.
---

Aku menatap nyalang pada jenazah Lisa yang sedang dikafani oleh helaian kain putih. Wajahnya masih tetap cantik walaupun terlihat pucat. Bibirnya yang merah yang selalu ia gunakan untuk tertawa saat kami melakukan hal yang konyol kini terkatup rapat. Tak akan pernah lagi dia gunakan untuk tertawa dan mengodaku saat Tristan main ke rumah. Matanya yang berwarna cokelat madu yang selalu ia gunakan untuk memberikan delikan tajam pada pria yang selalu berusaha menggodanya kini terpejam erat. Rumahku dipenuhi isak tangis yang mengantarkan kepergian Lisa. Aku yakin jika dia masih hidup dia akan mendelik tajam ke arahku karena berani memperhatikan wajahnya dengan jeli dan dia pasti akan berkata, “Apa yang kaulihat, jangan pernah melihatku seperti itu, seolah-olah aku ini kue tart kesukaanmu”

Seumur hidupnya, Lisa tidak pernah suka mendapatkan tatapan kagum yang di berikan oleh orang lain, termasuk aku adik nya sendiri. Tapi sekarang jangankan meberikan kata- kata pedas, untuk bernafas pun Lisa tidak akan pernah bisa.
---
Aku merasa ada kehampaan dan kekosongan yang menyeruak ke dalam diriku,tatkala melihat jenazah Lisa secara perlahan-lahan di masukan ke liang lahat. Aku mendengar mama ku yang menangis semakin kencang di pelukan papa.
“Kenapa Lisa, kenapa harus kau yang pergi, kenapa harus kau yang pergi, kenapa tidak aku saja yang telah banyak menyusahkan orang lain?” batin ku.
Masih kudengar tawanya yang terbahak saat kami menonton film komedi kesukaan kami. Masih kudengar suaranya yang merdu tatkala dia bernyanyi di dalam kamar mandi. Masih kudengar omelannya ketika aku pergi bersama Tristan tanpa izin padanya,dan masih bisa kudengar kata-kata terakhinya sebelum dia pergi, benar-benar pergi meninggalkanku beserta mama dan papa.
“Hey, Lia. Bagaimana kalau seandainya aku yang lebih dulu menghadap Allah?’ tanyanya saat kami sedang mengerjakan tugas kimia.
“Itu tidak akan terjadi karena kau ditakdirkan untuk menjaga mama dan papa setelah kepergianku” jawabku.
Sesak, itulah yang ku rasakan saat sedikit demi sedikit tanah merah menutupi raga Lisa. Isak tangis mama dan keluargaku terdengar semakin memilukan dan menyayat hati, mengantar kepergian Lisa untuk selamanya. Tanah merah telah sempurna menutupi raga Lisa yang terbaring dalam damai menghadap Sang Pencipta, ALLAH SWT
“ Aku akan sangat merindukanmu mysist” bisikku.
---

Aku membuka pintu kamarku yang sudah kubagi bersama dengan Lisa selama 11 tahun ini. Hanya keheningan yang kudapat saat aku memasukinya. Aku menatap dua buah tempat tidur yang ada di hadapanku. Lagi-lagi dadaku sesak saat menyadari bahwa Lisa sudah tiada. Pelan kulangkahkan kakiku menuju tempat tidur Lisa. Tempat dia merilekskan badannya setelah lelah belajar. Kubaringkan diriku di sana dan kupejamkan mataku. Aku berharap Lisa muncul di depanku dan menegurku kalau aku salah menempati tempat tidur. Tapi, saat aku membuka mataku hanya keheingan yang kudapat. Tak ada Lisa di kamarku. Hanya ada aku. Bangkit dari tempat tidur, kulangkahkan kakiku menuju lemari pakaian milik ku. Lagi-lagi hatiku mencelos saat melihat benda terakhir pemberian Lisa saat dia pulang dari Bali touring bersama teman-temannya. Sebuah kalung indah yang terbuat dari cangkang kerang.
“Aku punya sesuatu untuk mu, Li ‘ ujar Lisa.
“Oh ya, apa itu?’ Tanya ku.
Dia merogoh tasnya dan mengeluarkan seuntai kalung indah dari cangkang kerang.
“Waaaahhhhh indah sekali” puji ku.
“Percaya atau tidak aku membuatnya dengan tanganku sendiri.” Ujarnya.
Aku berlari dan memeluknya erat seraya mengucapkan banyak-banyak terima kasih.

Tanpa terasa air mata yang sedari tadi kutahan meluncur bebas di kedua pipiku yang pucat, membentuk ngarai yang deras, bibirku yang sedari tadi terkatup rapat mulai mengeluarkan isakan-isakan kecil, yang semakin membuat dadaku terasa sesak. Kugenggam kalung itu erat-erat di tangan kananku, takut jika kalung itu ikut menghilang dari genggamanku, takut jika barang pemberian terakhir dari Lisa akan ikut pergi bersamanya. Kamarku mulai terisi dengan suara isak tangisku. Mulai sekarang tak akan ada lagi suara tawa yang terbahak bahak di kamar ini tatkala menyaksikan film komedi yang selalu kutonton bersama Lisa setiap malam akhir pekan. Tidak akan ada teguran lagi jika aku tidur di tempat tidur yang salah. Tidak akan keusilan lagi saat aku tengah mengerjakan tugas sekolahku. Tak akan ada lagi orang mau memakan bubur yang dibuatkan ibuku kala aku sakit dan tak mau memakannya. Semua hal itu tak akan pernah terjadi lagi karena semuanya ikut menghilang.  Menghilang seiring dengan kepergian dirimu, Lisa. Kalaupun itu terjadi aku pastikan semua nya tidak akan sama lagi, tidak akan sama lagi.

Kurasakan tubuhku melemas dan jatuh ke atas lantai yang dingin seiring dengan rasa sesak yang semakin melanda dadaku. Dan yang terakhir kalinya kuingat adalah mama membuka pintu kamarku dan berteriak sebelum gelap menguasai sekelilingku.
  
Sri Mulyani 
2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apel Merah Untuk Emak

Pikirku

“Semangat Belajar di Sekolah”