TWINS
Aneh bukan, jika Lisa yang harus
meninggal lebih dulu dariku yang sejak kecil sudah menderita sakit parah. Aku
divonis oleh dokter menderita kelainan jantung, yang membuat semua perhatian
orang tuaku tercurah secara berlebihan, menimbulkan kesan bahwa aku telah
memonopoli kasih sayang kedua orang tuaku. Hidup Lisa jauh dari kata sakit,
hidupnya selalu di isi oleh tawa dan canda, raut keceriaan selalu terpancar
jelas di wajahnya. Berbeda denganku yang selalu terlihat kuyu dan lesu. Lisa
meninggal bukan karena ia sakit parah, Lisa meninggal karena menjadi korban
tabrak lari orang tak bertanggung jawab, saat pulang dari rumah Tristan teman
kami di sekolah.
Saat itu hujan turun dengan
derasnya, dan waktu menunjukkan pukul 16.30 sore hari. Aku melangkahkan kakiku
menuju dapur hanya untuk membuat secangkir teh hangat. Langkahku terhenti sat
mendengar ketukan dari arah pintu. Kulihat, kulihat mama melangkahkan kakinya
menuju pintu, penasaran kuikuti langkah mama. Dan aku mengerutkan keningku saat
melihat dua orang polisi di depan rumah.
“Apakah benar ini kediaman Lisa
Anastasya?” Mama ku mengangguk kebingungan.
Seingatku Lisa tak pernah
melakukan tindakan kriminal sekalipun’ batinku. Dan detik berikutnya, aku
merasa di sambar petir beribu-ribu kali saat kedua polisi itu mengatakan bahwa
Lisa menjadi korban tabrak lari.
---
Aku menolehkan kepalaku saat
merasa bahuku di sentuh oleh seseorang
“Lisa sudah pergi, Li.” Bisik Tristan sahabatku. Aku mengangguk kemudian menjauh dari ranjang tempat Lisa terbaring saat para medis datang untuk membawa Lisa ke kamar jenazah.
“Lisa sudah pergi, Li.” Bisik Tristan sahabatku. Aku mengangguk kemudian menjauh dari ranjang tempat Lisa terbaring saat para medis datang untuk membawa Lisa ke kamar jenazah.
---
Aku menatap nyalang pada jenazah
Lisa yang sedang dikafani oleh helaian kain putih. Wajahnya masih tetap cantik
walaupun terlihat pucat. Bibirnya yang merah yang selalu ia gunakan untuk
tertawa saat kami melakukan hal yang konyol kini terkatup rapat. Tak akan pernah
lagi dia gunakan untuk tertawa dan mengodaku saat Tristan main ke rumah.
Matanya yang berwarna cokelat madu yang selalu ia gunakan untuk memberikan
delikan tajam pada pria yang selalu berusaha menggodanya kini terpejam erat.
Rumahku dipenuhi isak tangis yang mengantarkan kepergian Lisa. Aku yakin jika
dia masih hidup dia akan mendelik tajam ke arahku karena berani memperhatikan
wajahnya dengan jeli dan dia pasti akan berkata, “Apa yang kaulihat, jangan
pernah melihatku seperti itu, seolah-olah aku ini kue tart kesukaanmu”
Seumur hidupnya, Lisa tidak
pernah suka mendapatkan tatapan kagum yang di berikan oleh orang lain, termasuk
aku adik nya sendiri. Tapi sekarang jangankan meberikan kata- kata pedas, untuk
bernafas pun Lisa tidak akan pernah bisa.
---
Aku merasa ada kehampaan dan
kekosongan yang menyeruak ke dalam diriku,tatkala melihat jenazah Lisa secara
perlahan-lahan di masukan ke liang lahat. Aku mendengar mama ku yang menangis
semakin kencang di pelukan papa.
“Kenapa Lisa, kenapa harus kau
yang pergi, kenapa harus kau yang pergi, kenapa tidak aku saja yang telah
banyak menyusahkan orang lain?” batin ku.
Masih kudengar tawanya yang
terbahak saat kami menonton film komedi kesukaan kami. Masih kudengar suaranya
yang merdu tatkala dia bernyanyi di dalam kamar mandi. Masih kudengar omelannya
ketika aku pergi bersama Tristan tanpa izin padanya,dan masih bisa kudengar
kata-kata terakhinya sebelum dia pergi, benar-benar pergi meninggalkanku
beserta mama dan papa.
“Hey, Lia. Bagaimana kalau
seandainya aku yang lebih dulu menghadap Allah?’ tanyanya saat kami sedang
mengerjakan tugas kimia.
“Itu tidak akan terjadi karena
kau ditakdirkan untuk menjaga mama dan papa setelah kepergianku” jawabku.
Sesak, itulah yang ku rasakan
saat sedikit demi sedikit tanah merah menutupi raga Lisa. Isak tangis mama dan
keluargaku terdengar semakin memilukan dan menyayat hati, mengantar kepergian
Lisa untuk selamanya. Tanah merah telah sempurna menutupi raga Lisa yang
terbaring dalam damai menghadap Sang Pencipta, ALLAH SWT
“ Aku akan sangat merindukanmu
mysist” bisikku.
---
Aku membuka pintu kamarku yang
sudah kubagi bersama dengan Lisa selama 11 tahun ini. Hanya keheningan yang kudapat
saat aku memasukinya. Aku menatap dua buah tempat tidur yang ada di hadapanku. Lagi-lagi
dadaku sesak saat menyadari bahwa Lisa sudah tiada. Pelan kulangkahkan kakiku
menuju tempat tidur Lisa. Tempat dia merilekskan badannya setelah lelah
belajar. Kubaringkan diriku di sana dan kupejamkan mataku. Aku berharap Lisa
muncul di depanku dan menegurku kalau aku salah menempati tempat tidur. Tapi,
saat aku membuka mataku hanya keheingan yang kudapat. Tak ada Lisa di kamarku. Hanya
ada aku. Bangkit dari tempat tidur, kulangkahkan kakiku menuju lemari pakaian
milik ku. Lagi-lagi hatiku mencelos saat melihat benda terakhir pemberian Lisa
saat dia pulang dari Bali touring bersama teman-temannya. Sebuah kalung indah
yang terbuat dari cangkang kerang.
“Aku punya sesuatu untuk mu, Li
‘ ujar Lisa.
“Oh ya, apa itu?’ Tanya ku.
Dia merogoh tasnya dan
mengeluarkan seuntai kalung indah dari cangkang kerang.
“Waaaahhhhh indah sekali” puji
ku.
“Percaya atau tidak aku
membuatnya dengan tanganku sendiri.” Ujarnya.
Aku berlari dan memeluknya erat
seraya mengucapkan banyak-banyak terima kasih.
Tanpa terasa air mata yang
sedari tadi kutahan meluncur bebas di kedua pipiku yang pucat, membentuk ngarai
yang deras, bibirku yang sedari tadi terkatup rapat mulai mengeluarkan isakan-isakan
kecil, yang semakin membuat dadaku terasa sesak. Kugenggam kalung itu erat-erat
di tangan kananku, takut jika kalung itu ikut menghilang dari genggamanku,
takut jika barang pemberian terakhir dari Lisa akan ikut pergi bersamanya.
Kamarku mulai terisi dengan suara isak tangisku. Mulai sekarang tak akan ada
lagi suara tawa yang terbahak bahak di kamar ini tatkala menyaksikan film
komedi yang selalu kutonton bersama Lisa setiap malam akhir pekan. Tidak akan
ada teguran lagi jika aku tidur di tempat tidur yang salah. Tidak akan keusilan
lagi saat aku tengah mengerjakan tugas sekolahku. Tak akan ada lagi orang mau
memakan bubur yang dibuatkan ibuku kala aku sakit dan tak mau memakannya. Semua
hal itu tak akan pernah terjadi lagi karena semuanya ikut menghilang. Menghilang seiring dengan kepergian dirimu,
Lisa. Kalaupun itu terjadi aku pastikan semua nya tidak akan sama lagi, tidak
akan sama lagi.
Kurasakan tubuhku melemas dan
jatuh ke atas lantai yang dingin seiring dengan rasa sesak yang semakin melanda
dadaku. Dan yang terakhir kalinya kuingat adalah mama membuka pintu kamarku dan
berteriak sebelum gelap menguasai sekelilingku.
Sri Mulyani
2013
Komentar
Posting Komentar