PERTEMUAN SINGKAT
“Tiiiidd…… Ttiiiddd…….. Tiiiddd…..”
Kubuka mataku perlahan, bunyi klakson itu
membangunkanku dari tidur. Kulihat jalan yang dipadati kendaraan, kemacetan
lalu lintas memang sudah tak aneh lagi di kota ini. Jam yang melingkar di
tanganku menunjukan pukul 04.30 sore.
“Astaga dimana ini?” tanyaku dalam hati.
Aku terkaget ketika kulihat jalan yang kulalui tak
kukenali. Suhu tubuhku mendadak berubah menjadi dingin. Namun, kusembunyikan
rasa khawatirku. Aku tak ingin orang lain mengetahui kekonyolanku. Kutarik
napasku perlahan, lalu membuangnya. Sebisa mungkin aku bersikap tenang.
“Oke! Tenang, Cha. Kamu harus tenang, kamu pasti punya jalan keluarnya.” kataku dalam hati.
Aku berusaha menyemangati diriku sendiri. Setelah
kuamati jalan yang kulalui ternyata ini di Nagreg. Tentunya kampusku sudah
terlewat sangat jauh.
“Mungkin lebih baik aku melanjutkan perjalanan menuju kampung halamanku, toh sudah lama aku tak mengunjungi mereka, lagipula aku sudah sangat rindu pada nenek dan kakek.” Pikirku.
Kepanikanpun mulai sirna. Bagaikan disirami sebuah ketenangan, lega rasanya hati ini. Setelah kedua bola mata lelah memendangi pemandangan yang kulalui, aku pun tertidur kembali.
***
Drettt …. Drrrettt …. Handphone yang berada di saku jeansku begetar. Ketika akan kuambil, aku baru tersadar ternyata kepalaku bersandar pada bahu seseorang. Kubuka mata lalu melirik ke arah sampingku. Sosok wajah pemuda itu tersenyum ke arahku. Aku mengangkat kepalaku yang bersandar pada bahu pemuda itu, wajahku memerah karena malu.
Drettt …. Drrrettt …. Handphone yang berada di saku jeansku begetar. Ketika akan kuambil, aku baru tersadar ternyata kepalaku bersandar pada bahu seseorang. Kubuka mata lalu melirik ke arah sampingku. Sosok wajah pemuda itu tersenyum ke arahku. Aku mengangkat kepalaku yang bersandar pada bahu pemuda itu, wajahku memerah karena malu.
“Ekhemm Ma.. Maaf.” Dengan gugup aku mengatakannya, pemuda itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Aku pun membalasnya dengan senyuman. Jantungku berdetak lebih kencang ketika pemuda itu tersenyum ke arahku.
“Senyuman yang sangat Indah.” ucapku dalam hati.
“Saya Reyhan.” pemuda itu memperkenalkan dirinya
sambil mengulurkan tangannya.
“Sa.. Saya Cacha.” dengan ragu aku pun mengulurkan
tangan.
Dretttt… Drrreeeetttt Handphonku kembali bergetar.
“Mamah” tumben mamah menelpon, aku menngernyitkan
dahi langsung mengangkatnya.
“Assalamualikum Mah.”
“Wa’alikum Salam, Cha kamu dimana, Nak?”
“Oh iya, Aah aku lupa bilang sama Mamah, kalo Cacha
sekarang masih di Bus mau ke rumah nenek, soalnya tadi Cacha ketiduran ketika
Cacha bangun, Cacha baru tersadar kalau kampus Cacha sudah terlewat jauh.”
“Haha, Cacha, Cacha. Mamah kan sudah sering bilang
kalau lagi di perjalanan jangan suka tidur, jadinya begitu tuh.”
“Hmmm iya, Mah.”
“Ya, sudah. Hati-hati ya, Sayang.”
“Iya, Mamah.” Percakapan pun berakhir sampai
disitu.
Reyhan yang dari tadi duduk di sampingku mengetahui
kekonyolanku.
“ Ahaha ha.. sekarang aku tahu, jadi kamu….”
“Iya, begitulah.”
Berawal dari situ, kami pun semakin akrab, di
sepanjang jalan kami pun berbincang-bincang disertai tawa dan canda. Aku pun
merasakan hal yang aneh.
“Baru kali ini kita berjumpa namun sudah sedekat
ini.” Pikirku.
Bus pun berhenti, tak kusadari ternyata sudah
sampai di terminal.
“Lho kok berhenti, memangnya sudah sampai ya?” ucap
Reyhan.
“Eh iya, tak terasa ya sudah sampai di sini.”
Reyhan hanya mengangguk.
“Baiklah kita berpisah di sini.” ucapku padanya.
Tangan Reyhan mengenggam Lenganku dan menatapku.
“Aku pasti akan merindukanmu, jangan pernah lupakan
aku.”
“Aku juga, aku tak kan pernah melupakanmu.”
Reyhan mengeluarkan secarik kertas menuliskan nomor
handphone lalu menyodorkan kertas itu padaku, “Jangan lupa untuk hubungiku.”
“Baiklah, aku pasti akan menghubungimu.”
Berat rasanya untuk meninggalkan dia. Namun dimana
ada sebuah pertemuan di situlah ada perpisahan .
Ela Endayani
2013
Komentar
Posting Komentar