Hari yang Berat

     
ilustration taken from : carmelharrington.com

      
      Matahari ini akhirnya terbit juga. Pancaran sinarnya yang aku tunggu-tunggu semalam suntuk membuatku tak lelap tidur. Bahkan sejak jam dua malam aku terbangun sampai sekarang mataku menyipit ketika menatap tajam sinar matahari itu. Ini hari yang berat untukku, mungkin tidak untuk orang lain di sekitar ku, untuk orang lain di luar sana. Tapi ini hari yang sangat sulit untukku. Entah apa yang menggantung di fikiran ku, yang pasti, aku tidak tenang. Ini hari yang sudah lama aku tunggu.Hari dimana pada malam-malam sebelumnya aku relakan tubuh ku di guyur keringat daari seluruh lubang pori-pori ku, aku melakukannya demi hari ini.Hari di mana aku bisa merasakannya seumur hidupku. Orang-orang di sekitar ku atau munGkin di luar sana pasti tidak akan tahu apa yang ada di dalam hati dan fikiran ku, karena aku sendiri tidak mengetahuinya apa itu.
      Aku duduk bersandar pada di jok mobil samping jendela paling belakang mobil yang mengantarkan ku dan tema-teman lainnya hari ini ke sebuah tempat yang membuat diriku semalam suntuk memikirkannya.Alunan music terdengar keras berdentum-dentum berbenturan dengan dinding mobil, tapi aku tak sedikitpun terusik.Aku hanya diam membisu sambil memandangi pepohonan di pinggir jalan yang berlari-lari meninggalkan tatapan ku.ah, entah apa yang aku rasakan hari ini, aku hanya ingin terdiam dan memejamkan mata. Perlombaan itu kini di depan mata, dan aku tak bisa berlari darinya. Aku masih lemah, ya, aku memang lemah, tak seperti mereka yang bermental kuat yang sangat sigap dan siap menghadapi hari ini di depan matanya. Ah, Tuhan, kenapa aku ini? Ya sudahlah, ku tutupkan saja kedua mata ini untuk membayar hutang ku semalam pada mimpi yang tidak sempat aku datangi.Lengkingan suara teman-teman ku terus beradu dengan musik yang didendangkan pada speaker mobil, tapi aku terlalu lelah, lelah, dan memilih untuk terdiam.
     Akhirnya Rangkasbitung begitu tertinggal jauh di belakangku, dan sekarang gedung-gedung pencakar langit bertebaran di pesisir jalanan. Jalanan Jakarta. Tempat itu tinggal beberapa menit lagi aku injaki, hati ini semakin kacau, kalut. Oh Tuhan, kenapa aku ini? Tidak seperti biasanya aku seperti ini. Ingat Fitri, kamu bisa melewati pementasan sebelum-sebelumnya, kamu pernah hadir di tempat itu satu tahun yang lalu dan kamu berhasil meraih juara, lalu apa yang kamu ragukan? Ah, kamu tidak akan mengerti apa yang aku rasakan. Hari ini berbeda dengan tahun lalu. Hari ini aku akan sendirian berada didepan orang-orang, hanya sendirian aku akan berdiri di atas panggung itu, melawan para competitor lainnya se Indonesia, kamu dengar itu se Indonesia !rekan-rekan satu teater yang sebelumnya pernah menjadi aku sekarang ini adalah orang-orang yang hebat. Mereka semua sudah semester atas, sudah sangat banyak memiliki pengalaman kemana-mana. Nah aku ?bisa apa aku? Kamu lemah !kamu tidak boleh menyerah begitu saja.. kamu tegang? Tidak! Aku sama sekali tidak tegang, entah apa namanya, tapi dengan pertanyaan yang kamu lontarkan itu aku ingin sekali menangis. Ah, kenapa? Kenapa ini?Qok aku menangis?Tidak ada yang menyakiti ku, memarahi ku, menggertakku, tapi kenapa aku menangis?Ini pasti karena pertanyaan mu tadi.Sekarang, sekarang dada ku terasa sesak, aku jadi terisak-isak tidak bisa menghentikannya. Kamu harus menghentikan tangisku, kamu harus tanggung jawab! Benar kata ku kan, kamu tegang. Sini, ulurkan tanganmu, dengarkan aku baik-baik.Jadikanlah panggungmu itu adalah milikmu sendiri.Jangan kamu hiraukan yang namanya juri.Huri itu sedang menunggu mu. Menunggu apa yang aka kamu lakukan, suguhkan, jadi, kamu lah penguasa panggung itu, kamu usahlah tegang seperti itu. Hentikan, hentikan perkiraan mu! Aku sudah katakana kan, aku tidak tegang! Sebenarnya, sebenarnya, mungkin aku, aku, aku takut.Ya, aku takut.Takut sekali.Tidak ada yang perlu kamu takutkan, yang kamu harus lakukan sekarang adalah tenang, rileks, hadapi semuanya dengan tenang, aku yakin, kamu pasti bisa melakukannya. Sebelumnya kamu pernah menghadapi hal ini kan? Dan kamu bisa melewatinya dengan sangat baik.Aku mengerti ketakutan mu, itu wajar, tapi kamu harus mengalahkan rasa takut itu. Jika kamu tegang, aku juga akan jadi sangat tegang. Bahkan lebih tegang, jadi tolong, hentikan lah air mata mu, aku akan selalu bersamamu, berdo’a untuk mu, ingatlah, perlombaan itu bukan untuk mengejar kemenangan, tapi untuk mempersembahkan yang terbaik yang kamu miliki. Sudah, hapuslah air matamu, tenang, tarik nafas.
       Hah !mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti dan mengerem secara tiba-tiba membangunkan ku dari tidur panjang selama dalam perjalanan. Entah mimpi atau apa yang barusan mengiang-iang di telinga ku, tapi, jika itu mimpi, kenapa ketika ku sentuh pipi ku basah, begitu juga dengan mata ku, seperti habis menangis. Tapi rasanya jadi jauh lebih berbeda, aku merasa jauh lebih tenang, tenang sekali. Ah, segera saja ku usap dengan kerudung pink yang aku kenakan, agar teman-teman di mobil tidak ada yang mengetahui aku habis menangis, malu rasanya.
        Ternyata kami semua telah sampai di tempat ini.Tempat yang sebentar lagi didalamnya terdapat panggung yang harus aku taklukan, panggung monolog.Ah, sudah lah, tidak mungkin kan aku akan kembali lagi ke rangkasbitung, hari ini harus tetap aku hadapi, harus. Kami semua segera turun dari mobil dan masuk kedalam gedung pertunjukan, sebelum tampil, aku menyempatkan untuk melihat penampilan monolog kontestan ayng lain, aku mennton penampilan monolog dari teater 1 Lampung, satu kata yang bisa aku lontarkan, GILA !ekspresi wajahnya itu loh, aku saja tidak bisa melakukan hal  itu, ah, sudahlah, pesimis menggelantungi pikiran ku dan ketegangan itu menyerang ku lagi. Setelah melihat pertunjukan monolog itu aku bersiap-siap untuk segera tampil, penampilan ku berubah menjadi arwah, arwah penasaran, dengan pakaian serba putih dan wajah pucat.Setelah semua persiapan selesai dan namaku di panggil, kami segera masuk ke dalam ruangan monolog, aku segera mempersiapkan diri dan naik ke atas panggung. Oh, Tuhan, mudahkan aku. Aku sisipkan do’a pada Allah yang mengatur segalanya, aku hanya mohon di mudahkan, di mudahkan. Ting! Ting! Ting!

      Lampu menyala, au mulai melakukan tugasku sebaiknya, aku jadikan panggung itu milikku, aku mulai berhasil mengeksekusi awal pementasan dengan baik.Satu dua kata kalimat mulai terlontar, dan aku mulai menikmati pertunjukan. Tapi ketika aku melihat sesosok laki-laki yang tengah duduk di bangku belakang dengan tulisan-tulisannya dan aku tahu betul siapa ia, ia adalah salah satu juri nya. Wah, tiba-tiba pikiran ku buyar. Ada apa dengan aku ini? Kemana larinya hafalan ku?kenapa aku tiba-tiba lupa dengan hafalan ku? adegan apa lagi ini selanjutnya? Yaa Allah, kenapa aku ini? Ting! Aku loncat saja kehafalan yang lain yang aku ingat ketika itu. Kacau! Aku mengacaukan pementasa ku sendiri! Ah, aku ingin segera menyelesaikan pementasan ini. Setidaknya, aku ingin mengakhirinya dengan baik.Cepat, cepatlah aku ingin segera turun.Dan, sampailah pada ujung dialog ku.aku menutup mata, dan lampu mati. Saat itu, aku tahu, aku telah gagal, dan aku mengecewakan semua orang yang telah menempelkan kepercayaannya pada pundakku.Maaf, maaf, maaf.Aku memang salah, tidak mampu mengalahkan ketegangan hati ku.aku akui, aku memang tegang, memang takut, dan sekarang kegagalan itu milikku. Memang aku gagal, setidaknya aku telah berusaha, sekarang taka da lagi beban yang menggelayuti pikiran dan hatiku, walau tak dapat membawa pulang kemenangan, setidaknya mala mini aku bisa menjemput mimpi nyenyakku.Selamat malam. Selamat tinggal hari yang berat.

Dinda Eka Savitri 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

*Living without parental love*

CAHAYA PONDOK

Makan Malam terakhir