Menunggu Malam

             
“Pak sedang apa? Sedang menunggu malam seperti biasanya yah?” tiba-tiba Dea muncul dari dalam kamarnya mengagetkan Darmo yang sedang melamun di depan teras rumahnya. Malam itu hening sekali.
                Darmo terdiam. Otaknya berputar keras mempersiapkan jawaban yang pas agar anaknya bisa mengerti.
                “Iya, sayang, Bapak sedang menunggu malam, seperti biasa. Biar bisa belikan boneka baru untuk Dea yah” jawab Darmo dengan gugup.
                “Oh, gitu ya, Pak? Dea bangga sama bapak. Sekarang bapak belum berangkat kerja? Apa malamnya belum datang pak?” Tanya Dea polos
                “Ini sebentar lagi Bapak mau berangkat, makanya kamu cepat tidur ya, Sayang” ujar Darmo penuh rasa sayang. Sembari menggendong anaknya menuju tempat tidur dan menina bobokan Dea.

Ilustration by: madrasahibnuabbaskendari.wordpress.com

                Dea lalu tertidur di ranjangnya dan menutup matanya. Perlahan-lahan menjemput mimpi seoarang bocah kecil yang indah. Lantunan lagu-lagu yang dinyanyikan Darmo membuat tidur Dea semakin memasuki alam ketidaksadaranya. Setelah yakin anaknya benar-benar telah tertidur, ia pun berdiri menuju lemari pakaian dan mengganti baju yang sedang ia kenakan. Topi hitam, kaca mata hitam, baju dan jaket hitam, celana panjang dan sepatu hitam, semua serba hitam, telah melekat pada tubuh Darmo. Gelap.  Tak lupa sebuah pistol yang ia letakan di dalam lemari dimasukan kedalam saku celana depannya. Sebelum berangkat, ritual mencium kening anaknya tak pernah ia tinggalkan. Darmo pergi meninggalkan kamar hendak keluar rumah. Tiba-tiba ia tak sengaja menengok pada bingkai foto yang di dalamnya ada seorang wanita cantik yang tersenyum manis, bayi lucu yang digendong oleh laki-laki berkumis tipis. Tiba-tiba ia meneteskan airmata mengingat istrinya yang telah meninggal karena kecelakaan bus satu tahun yang lalu. Dengan cepat darmo menghapus airmatanya dan bersegera keluar rumah mengunci pintu dan meninggalkan rumah itu dengan kegetiran hati yang tak banyak orang ketahui.
                Ketika berjalan menyusuri malam tiba-tiba handphonenya bordering, lalu Darmo mengangkat telepon itu
                “Kau masih dimana?
                “Aku sedang berjalan menuju lokasi.
                “Percepat langkahmu. Malam telah menunggu mu.”
                “Ya”
                Klik. Darmo menutup telepon itu dan mempercepat langkah kakinya. Tak butuh waktu lama tepat pada tengah malam Darmo sampai disebuah bangunan tua yang tak berpenghuni. Tapi Darmo tahu kehadiranya telah ditunggu-tunggu oleh seseorang di dalam sana. Ketika Darmo sampai dilokasi, seorang laki-laki berperawakan sedang mengenakan jas hitam, dasi dan sepatu mengkilap itu menyambutnya.
                “Selamat datang darmo. Sudah siap untuk tugas yang satu ini?
                “Siap, Bos!” balas Darmo dengan tegas
                ”Ini malam yang lumayan berat untuk kamu Darmo, karna target kita malam ini adalah seorang anggota DPR RI” pungkas laki-laki berjas hitam itu sembari menyundut roko di tangan kirinya.
                “Semua bisa teratasi. Asal bayaranya sesuai saja. Saya pasti bisa bereskan malam ini.
                “Baik. Ini untuk permulaanya.” sahut laki-laki berdasi itu sembari memberikan sebuah amplop coklat yang lumayan tebal.
                Darmo mengambil amplop itu dan membukanya. Hatinya berdesir mengingat ia bisa membelikan boneka baru untuk Dea. Dengan segera darmo memasukanya ke saku celana kirinya dan mengeluarkan pistol dari saku celana kanannya. Kemudian membalikan badan dan melangkah meninggalkan laki-laki bersepatu mengkilap itu.
                “Ingat. Harus mati!” teriak laki-laki itu dari kejauhan kepada Darmo.
                Darmo melenggang pergi menggunakan motor yang telah disediakan laki-laki itu menuju rumah anggota DPR RI yang telah diberitahu oleh bos nya. Sesampainya di depan pintu gerbang rumah yang dimaksud, Darmo menunggu di posisi paling aman untuk segera menyelesaikan malam yang telah menunggunya. Satu jam berlalu. Sebuah mobil merah kinclong meluncur hendak masuk kedalam rumah yang sedang di awasi oleh Darmo. Pas sekali, di dalam mobil itu target hanya seorang diri. Setelah yakin waktu dan suasana telah tepat, Darmo pun keluar dari persembunyianya dan menghadang mobil yang berhenti di depan gerbang tersebut. Darmo menggedor-gedor pintu kaca mobil itu dan menyuruh pengemudinya segera keluar dari dalam mobil. Darmo langsung menodongkan pistol ke muka seorang laki-laki yang di yakini sama persis dengan wajah yang ada di foto yang diberikan oleh bos nya kepada Darmo, dan bersiap menghabisi target secepatnya. Tapi tiba-tiba laki-laki itu berteriak hingga mengagetkan orang-orang yang sedang terjaga di pos ronda yang tak jauh dari depan rumah anggota DPR RI itu.
                “Tolong!”
                Tiba-tiba badan Darmo bergetar, peluru yang telah siap di luncurkan ke kepala laki-laki yang telah berada di tanganya itu tiba-tiba terjatuh. Malam itu Darmo sial. Jantungnya tiba-tiba berguncang hebat. Tak ada pilihan lain. Darmo melihat ada beberapa orang warga yang semakin mendekat ke arah mereka. Darmo memilih untuk kabur dan mengambil pistolnya yang terjatuh. Ketika hendak mengambil pistolnya, anggota DPR RI itu menginjak tangan Darmo hingga Darmo kesakitan. Persekian detik kemudian para pemuda yang sedang meronda itu telah mengerumuni Darmo yang diduga maling oleh warga. Tanpa pikir panjang warga langsung menggebuki Darmo tanpa ampun. Darmo meronta mencoba menjelaskan. Tapi ia tak bisa berkata apa-apa. Wajahnya dihantam bertubi-tubi. Perut dan kakinya di hantam oleh benda keras seperti batu dan balok. Yang Darmo ingat di tengah penggebukan itu hanya Dea, anaknya yang sedang tertidur pulas di rumahnya. Darmo semakin tak kuat dan tak berdaya. Tak lama kemudian semua pandangan Darmo buyar. Hanya sakit dan ceceran darah dari mulutnya yang terasa. Lalu, gelap.
                Di keesokan harinya Darmo merasa badanya basah kuyup ketika terbangun. Seorang polisi menggertaknya dengan kasar.
                “Heh pembunuh bayaran! Bangun kamu! Tuh anak mu datang menjenguk! Sana keluar!”
                Darmo tersentak. Apayang harus Darmo katakan kepada Dea anaknya? Bagaimana bisa Dea sampai ke kantor polisi itu? Dengan beban pikiranya yang penat Darmo menemui Dea diruang tunggu sambil menahan rasa sakitnya.
                “Bapak!” teriak Dea berlari menghampiri bapaknya dan memeluknya. Dea menangis histeris di pangkuan bapaknya.
                “Bapak kenapa tadi pagi tidak membangunkan Dea? Bapak kenapa ada disini? Dea takut pak sendirian” sedu Dea sembari menangis tersedak-sedak.
                “Bapak ada perlu sayang, jadi bapak harus tinggal dulu disini, Dea sama siapa kesini sayang?” ujar Darmo sambil menenangkan hati bocah kecil itu.
                “Itu, sama Bu Ida, Pak, tadi katanya, Bu Ida dapet telepon Bapak di tangkap polisi. Apa bener pak? terus yang dibilang polisi itu apa pak, yang ngatain bapak pembunuh bayaran?” Jawab dan Tanya dea bertubi-tubi.
                Darmo bingung harus menjawab apa. Bocah kecil itu benar-benar terlalu kecil untuk mengetahui pekerjaan bapaknya yang sesungguhnya. Darmo hanya bisa terdiam tak bisa menjawab. Hati kecilnya berkata.
                ‘Nak, sebenarnya malam yang bapak tunggu itu dimana waktu bapak harus bekerja. Demi kamu. Hanya kamu yang Bapak punya, Nak. Bapak selalu menunggu malam. Menunggu kamu segera tertidur, agar kamu tak mengetahui apa sesungguhnya yang bapak kerjakan.  Bapak tak punya pilihan lain, Nak.’
                Darmo memeluk erat Dea sambil meneteskan air mata dan berkata,
                “Tenang saja nak, sekarang malam yang Bapak tunggu tak akan pernah datang lagi. Bapak akan berhenti  menunggunya. Setelah bebas, Bapak akan berganti menunggu siang. Jangan menangis lagi ya, Sayang” jawab Darmo sembari menghapus air mata Dea dan melepaskan pelukannya.

                “Waktu jenguk telah habis. Silakan masuk lagi ke dalam sel” teriak seorang polisi kepada Darmo. Darmo pun menghampiri Bu Ida tetangga rumah Darmo untuk menitipkan Dea anaknya hingga ia terbebas. Hingga ia bisa benar-benar menjemput siang dan membelikan boneka baru untuk Dea.

Dinda Eka Savitri 
2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

*Living without parental love*

CAHAYA PONDOK

Makan Malam terakhir