Trouble Maker Girl



Julukan Trouble maker girl sepertinya memang cocok diberikan padaku. Baru tiga hari yang lalu aku dipanggil Kepala Sekolahku gara-gara memencahkan kaca jendela sekolahku dengan bola kasti, sekarang akukembali dipanggil olehnya gara-gara terlibat baku hantam dengan temanku yang bernama Tinny. Semua murid memandang geram ke arahku  saat melewati koridor untuk bisa sampai ke ruangan kepala sekolahku. 
“Permisi.”
“Masuklah, Sarah!” ucap kepala sekolah. Aku mendapati ayahku yang hanya diam. Dengan kepala tertunduk aku menghampiri kepala sekolahku.
“Tiga hari yang lalu kamu memecahkan jendela sekolah, sekarang kamu bertengkar dengan salah satu siswi. Jujur saya sudah kewalahan menangani murid sepertimu.” Paparnya.
Aku melirik ayahku, berharap dia mau menyelamatkan aku lagi. Tapi kenyataannya ayahku hanya diam.
“Sebenarnya, saya sangat menyesal melakukan ini, tapi bagaimana lagi, saya nyatakan kamu dikeluarkan dari sekolah ini. Sekarang kamu bisa pulang, Sarah.” Ujar kepala sekolah.
Aku menahan nafasku lama sekali hingga membuat kepalaku pening. Aku terkejut saat tangan ayahku menyeretku untuk meninggalkan ruang kepala sekolah.
“Kita pulang.” Ucapnya singkat.
Aku menatap kepala sekolahku sekilas, lalu mengikut langkah ayahku.
...
“Sampai kapan kamu akan membuat ayah malu dengan tingkah lakumu, Sarah?” tanya ayahku.
Aku hanya menunduk tanpa berani menatap matanya yang berkilat marah. “Apa kamu ingin membuat ayah mati dengan tingkah lakumu yang penuh masalah itu, Sarah?”
Aku melihat ayahku mengusap wajahnya.
“Kamu itu perempuan, Sarah. Harusnya kamu malu dan menyesal tiap kali kamu terlibat masalah.” Ucapnya.
Aku berjingkat marah saat mendengar penuturan ayahku.
“Ayah pikir aku tidak pernah menyesal? Ayah pikir aku tidak pernah malu? Ayah pikir aku mau hidup dengan terus membuat masalah?” tanyaku dengan suara yang mulai bergetar. Pandanganku mulai mengabur karena air mata yang mulai timbul di mata coklatku.
“Tidak, Ayah! Aku tidak pernah mau seperti ini. Aku ingin hidup normal seperti gadis lain. Aku seperti ini karena aku ingin perhatian dari ayah.”
Ayahku hanya diam. Mungkinkah dia menyadari kesalahannya?
“Selama ini, ayah selalu sibuk mengurus pekerjaan ayah. Ayah tak pernah menanyakan kabarku, bahkan tak ayal ayah sering menganggapku tak ada.” Teriakku kesal.
“Aku ingin seperti remaja yang lain, Ayah. Bisa bersama dengan ayah, bercanda dengan ayah. Aku ingin seperti itu, Ayah. Aku ingin seperti mereka.”
Ayahku masih diam mematung di tempat semula dia berdiri.
“Selama ini aku bersikap tenang hanya untuk menutupi kesakitan hatiku, Ayah. Aku menunggu teguran dari ayah saat aku kembali membuat masalah. Tapi apa? Ketika aku memecahkan kaca jendela sekolahku, ayah hanya cukup memberi cek ganti rugi, tanpa menegurku, Ayah!”
Aku benar-benar tidak menyangka memiliki keberaian untuk terus berteriak pada ayahku.
“Aku merasa sakit ketika tidak melihat ayah di hari pengambilan raport. Aku merasa sakit saat aku menunjukkan rapotku yang hanya dibalas gumaman tak berarti dari bibir ayah. Tidakkah ayah tahu aku merasakan hal itu selama ini?” tanyaku geram, tanpa menghentikan isak tangisku.
“Aku tahu ayah bekerja demi aku. Tapi aku mohon, ayah beri sedikit perhatian ayah untuk aku. Aku tidak akan minta mobil mewah, Ayah. Aku juga tidak akan minta rumah megah dari ayah. Aku hanya ingin ayah menganggapku ada. Aku minta maaf ayah jika aku berkata lancang pada ayah, karena itulah yang selama ini aku ingin katakan pada ayah.”
Aku berlari menuju kamarku dan mengunci pintu rapat-rapat.
...
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku saat mendengar kicau burung. Kulangkahkan kakiku menuju meja riasku dan aku mendapati kedua mataku yang sembab karena menangis semalaman. Selesai membersihkan kekacauan pada diriku, aku keluar dari kamarku dan terkejut saat melihat ayahku tengah membaca koran di ruang tamu.
“Ayah.” Sapaku.
Ayahku menurunkan korannya lalu tersenyum ke arahku.
“Good morning, sweet heart.” Sapanya.
Aku mengernyit, tidak biasanya ayahku menyapaku seperti itu.
“Kenapa kamu diam? Sini duduk di samping ayah.”
Ayahku mengelus kepalaku dengan lembut lalu mengecup keningku dan tersenyum hangat ke arahku.
“Ayah minta maaf.”ucapnya
Aku mengerutkan keningku.
“Untuk apa ayah minta maaf?” tanyaku.
“Karena selama ini ayah kurang memperhatikanmu.”
Dadaku menghangat saat melihat senyum lembut ayahku.
“Selama ini ayah hanya menyibukkan diri ayah dengan bekerja hingga ayah lupa bahwa ayah memiliki putri yang sangat cantik sepertimu.” Mataku mulai panas saat mendengar pujian dari ayahku yang telah lama tak kudengar.
“Ayah tidak marah saat aku bentak kemarin?”
Dia menggeleng.
“Justru ayah yang berterima kasih padamu, karena kejadian kemarin menyadarkan ayah yang telah membiarkanmu berjuang sendirian menghadapi masalah.” Ucapnya. “Kamu mau kan memaafkan ayah?” tanyanya.
Aku mengangguk lalu tersenyum padanya.
Pandanganku kembali mengabur saat ayahku memeluk dan mendekapku dengan erat.
“Terima kasih kamu sudah mau memaafkan ayah.”
Aku menangis, bukan menangis karena sakit, tapi haru karena ayahku kembali memelukku dengan lembut. Ayahku menghapus air mataku dengan lembut oleh tangannya yang hangat.
“Sekarang pergilah ke kamarmu. Kemasi barang-barangmu.” Katanya.
“Memangnya kita mau kemana?” tanyaku.
“Kita akan berlibur ke Paris, ke rumah grandmamu.” Katanya.
Sekali lagi aku memeluknya erat. Aku tidak menyangka kejadian kemarin akanmembawa perubahan besar padaku juga ayahku.
“Kalau kamu terus memeluk ayah, kapan kamu akan mengemas barang-barangmu, sweetheart?” tanyanya.
“Baiklah. Thanks Ayah.” Ujarku seraya berlari ke kamarku meninggalkan ayahku yang masih tersenyum lebar. 

Sri Mulyani 
XI IPS 2013

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

*Living without parental love*

CAHAYA PONDOK

Makan Malam terakhir