Usaha yang Kosong

Awan gelap dengan suasana mencekam menjadi penambah kegelisahan Raja Prakarsa, sang pemimpin Kerajaan Bagaskara, di atas singgasananya. Sudah dua bulan sejak pertama kali Kerajaan Swastamita datang untuk menjatuhkan Bagaskara dan menguasai kerajaan yang sama unggul dengannya itu. Raja dari Swastamita yang bernama Janardana itu sangat iri dengan keteguhan Bagaskara sehingga teringin menjatuhkannya.

Di tengah kecemasan dan krisis kerajaan, Raja Prakarsa mendapat laporan dari salah satu prajuritnya bahwa mereka mendengar keinginan lain dari Raja Janardana. Pria itu terpikat dengan kecantikan putri Kerajaan Bagaskara dan menikahinya.

Ya, Bagaskara memiliki seorang putri cantik bernama Putri Dirandra. Semua orang mengetahui kejelitaan putri itu dan semua orang menyukainya, termasuk Raja Janardana. Tetapi, dari sisi manapun, Raja Prakarsa bersumpah ia tidak sudi untuk menikahkan putrinya dengan Raja yang penuh kebencian itu. Prakarsa kemudian segera pergi ke kamar Putri Dirandra.

Sang Putri yang saat itu sedang cemas dengan keadaan kerajaan seketika terkejut melihat ayahnya memasuki ruangan dengan tergesa-gesa.

"Ada apa, Ayahanda? Apakah semua baik-baik saja?"

"Nak, dengar. Kau harus bersembunyi untuk sementara karena sesuatu telah terjadi. Cukup bersembunyi, sampai aku bisa menyelesaikannya."

"Tetapi, Ayahanda, kenapa ...?"

"Dengar, aku sudah menyiapkan ruangan istimewa untukmu, jauh sebelum ini. Aku akan antarkanmu ke sana, dan bawalah beberapa prajurit serta pembantu untuk menjagamu, dan ingat, jangan keluar sampai aku sendiri yang menyuruhnya."

"Tapi, Ayahanda .... Kau yakin semua akan baik-baik saja? Aku takut kau akan terluka."

"Aku akan baik-baik saja. Percayalah kepada Ayahmu ini. Ayo cepat."

Mendengar semua itu, Dirandra hanya bisa pasrah dan mengikuti arahan sang ayah.

Namun, tanpa mereka sadari, seorang pengkhianat mendengar semua percakapan mereka dengan jelas.

Ya, prajurit yang berjaga tepat di pintu kamar Putri Dirandra rupanya seorang pengkhianat.

Namanya pengkhianat itu adalah Argajaya.

Dialah yang membuat strategi penyerangan Kerajaan Bagaskara selalu mudah untuk ditumpas Swastamita. Dia yang membocorkan semua rahasia penyerangan secara diam-diam sehingga Swastamita selalu menyiapkan penghadangan dengan sangat baik.

Kini, Argajaya mengikuti Putri Dirandra ke tempat di mana ia akan bersembunyi. Argajaya ingin segera memberitahu Raja Janardana mengenai hal ini, tetapi sayang, dia ditugaskan berjaga di depan pintu kamar Putri sehingga tidak dapat pergi dengan tenang untuk saat ini.

Di sisi lain, setelah mengantarkan putrinya ke tempat yang ia anggap aman, Raja Prakarsa segera mengumpulkan ribuan tentaranya untuk menyiapkan strategi penyerangan ke markas Swastamita, sehingga kerajaannya akan aman kembali.

"PRAJURIT! BERKUMPUL!" Suara seorang Panglima menggema di lapangan pelatihan perang.

Tanpa berbasa-basi lagi, Raja Prakarsa segera meminta seluruh prajuritnya untuk bersiap menyerang Janardana untuk kesekian kalinya. Tetapi, kali ini, ia berkata bahwa siapapun yang dapat membunuh Raja Janardana itu di akhir pertempuran, ia akan mengenalkan prajurit itu kepada Putri Dirandra untuk ia pertimbangkan menjadi suaminya, dan jikapun Putri tidak menghendakinya, maka prajurit itu akan diangkat sebagai anak dari Raja Prakarsa.

Mendengar semua itu, seluruh prajurit seketika bersemangat, mereka berlatih strategi dan kelihaian berperang bersama panglima mereka.

Kabar itu akhirnya sampai di telinga Argajaya. Di detik itu juga, otak liciknya merasa tidak terima. Argajaya mulai mengubah pikirannya.

Argajaya berpikir, "Jika itu penawarannya, akan lebih baik jika aku yang menjadi orang pertama untuk membunuh si Janardana. Itu lebih menguntungkan."

Dengan niat buruk yang sudah mulai bulat, Argajaya akhirnya mengkhianati kedua pihak.

Tibalah waktunya untuk Kerajaan Bagaskara dan Kerajaan Swastamita kembali berperang. Raja Janardana yang tidak mendapat informasi apapun dari Argajaya terlihat sangat panik dengan serangan tiba-tiba itu.

Dia lantas segera bersembunyi sementara otaknya berpikir, "Ke mana si penyusup yang kusimpan di Bagaskara? Jangan bilang kalau dia tertangkap?"

Kemudian Janardana cukup terkejut ketika ia menemukan, ternyata Argajaya sudah ada di ruangan ia bersembunyi dengan wajah lugunya. Ia bahkan menekuk lututnya seolah meminta pengampunan ketika Janardana memasuki ruangan.

"Kumohon maafkan aku, Yang Mulia. Aku tidak bisa mencegah ini terjadi," ujar Argajaya sembari bersujud di hadapan Janardana.

Janardana yang tidak curiga dengan Argajaya lantas menendangnya ke tanah. "Sialan kau! Aku tidak bisa kalah begitu saja seperti ini! Kau harus bertanggung jawab!"

Argajaya tersenyum dalam hatinya. "Tentu saja, aku akan mengerahkan seluruh tenagaku untuk menyerang mereka. Tetapi, saat ini aku tidak memiliki senjata lagi, apa yang harus aku lakukan?" Dengan muka payahnya, pria itu memohon.

Raja Janardana mengerang frustrasi, ia kemudian segera membuka penyimpanan senjata pribadinya sembari berkata, "Bawa saja apapun yang kau butuhkan di sana. Lakukan tugasmu dengan baik atau kau akan mati di tanganku bahkan sebelum mereka menghabisimu."

Tetap dengan wajah kepura-puraannya, Argajaya memilah dan memilih senjata terbaik untuk ia pakai hari ini.

Ya, malang sekali nasib Janardana, dia memilih orang yang salah untuk dipercaya. Argajaya saat ini memilih senjata bukan untuk melindunginya, tetapi, untuk membunuhnya di tempat. Argajaya merasakan kemenangan dalam hatinya.

"Ha! Haha! Hahahahaha!" Tawa Argajaya seketika menggema di ruangan yang cukup luas itu, membuat Janardana merasa bingung.

Argajaya menghunus pedang Janardana tepat di leher si pemilik. "Haha, Raja ini. Orang-orang menyebutnya sangat kuat dan tak terkalahkan, rupanya ia sangat bodoh. Mau saja ia dibodohi oleh prajurit lemah ini."

Mata Raja Janardana terbelalak sempurna. "Beraninya kau! Apa maksudmu dengan semua ini, hah?"

Raja Janardana terdiam, ia tidak menemukan jalan terbaik untuk melepas pedang itu dari lehernya, posisi yang Argajaya berikan benar-benar mengekangnya.

"Kau tahu? Membantumu ternyata tidak semenguntungkan yang aku pikir. Saat ini, ada penawaran yang lebih menguntungkan."

Dengan bangga, Argajaya menjelaskan apa yang sebenarnya ia incar. Dia menyebutkan semua jasa haramnya yang ia berikan kepada Janardana, kemudian menyebutkan keinginannya untuk mendapatkan Putri Dirandra. Argajaya mengatakan bahwa penawaran Raja Prakarsa lebih menarik mengingat ia akan mudah untuk membunuh Janardana.

"Semua yang kulakukan untukmu tak lagi menarik. Ya, itulah aku. Aku hanya mengambil semua yang menurutku menguntungkan."

Dengan semua kalimat itu, Argajaya segera mengatakan selamat tinggal pada Janardana.

"Kau akan menerima konsekuensi dari pengkhianatan ini!" ucap Janardana sebelum pedang miliknya menjadi kematiannya.

Argajaya dengan bangga berniat meninggalkan ruangan itu dan memberitahu semua orang bahwa ia sudah membunuh musuh Kerajaan Bagaskara.

Tak disangka, bahkan sebelum Argajaya mengambil  satu langkah berbalik, Raja Prakarsa sudah berdiri di ambang pintu.

Dengan wajah yang bangga, Argajaya tersenyum kepada Prabu Baka. "Aku sudah menjalankan tugas untuk membunuhnya sesuai keinginanmu, Yang Mulia."

Tetapi, setelah Argajaya mengatakan itu, tidak ada wajah bahagia yang Raja Prakarsa berikan, bahkan napas Raja itu menjadi sangat memburu. Raja Prakarsa berteriak, "Beraninya kau, Prajurit yang hina!"

Nyali Argajaya menciut, dia mulai mengkhawatirkan apakah Raja Prakarsa mendengar semua percakapannya.

"Beraninya kau mengkhianatiku selama pertempuran kemarin!"

"Beraninya kau mau menipuku dengan membunuh sialan itu!"

"Sekarang, kau harus mendapat konsekuensi dari semua kelicikanmu."

Tanpa bisa memberikan perlawanan, Argajaya tidak bisa melindungi dirinya bahkan dengan pedang itu, sampai akhirnya, pedang Raja Prakarsa sampai di lehernya.

Suara Raja Prakarsa tadi menggema di seluruh penjuru bangunan, membuat semua prajurit datang menghampiri sumber suara. Betapa terkejutnya mereka mendapati sang Raja berdiri dengan pedang berlumuran darah di hadapan dua mayat tergeletak.

"Pengkhianat ini pantas mati tanpa mendapat apa-apa." Raja Prakarsa mengakhiri perang dengan semua kalimat itu.

Dengan napas lega, Prakarsa akhirnya kembali ke istana dan bisa meminta sang putri keluar dari persembunyian dengan tenang.

"Nak, aku sudah selesai. Kita menang."

Putri Dirandra segera memeluk sang ayah dengan senang. Dia bersyukur dapat kembali melihat wajah ayahnya meskipun banyak luka yang harus diobati di tubuh pria itu.

Raja Prakarsa menceritakan semua kejadian di peperangan terutama cerita Argajaya. Putri Dirandra merasa sangat beruntung, ayahnya kembali dengan selamat setelah semua itu.

Dirandra mengambil pelajaran dari kisah itu, bahwa apapun yang ia lakukan, jangan pernah ia lakukan dengan kecurangan dan kelicikan. Dia juga belajar, bahwa tidak ada kejahatan yang memiliki akhir bahagia. Keadilan pasti datang, bahkan ketika tujuan sudah nampak terpenuhi.


Penulis Fitri Maryam

Kelas XII MA Al Husna 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

*Living without parental love*

CAHAYA PONDOK

Makan Malam terakhir